Mahasiswi Yogyakarta Rata-rata Tidak Perawan
Masih ingat dengan penelitian tahun 2002 yang menyebutkan 97,05 persen mahasiswi
Yogya tidak perawan. Ternyata sampai sekarang, tahun 2011, penelitian tersebut sepertinya tak bergeming, bahkan bisa bertambah menjadi 99 persen. Rata-rata perempuan lajang tersebut kehilangan keperawanannya saat kuliah. Tidak percaya, berikut penelusuran LIcom selama di kota pelajar.
———————————————
Malam maupun siang, suasana di kota Yogya sangat rame. Para kawula muda berkumpul bersama. Laki-laki dan perempuan tumplek blek jadi satu. Mereka ngobrol ngalor ngidul. Entah apa yang dibicarakan. Sepertinya ramai sekali.
Hari ini, jalan Kaliurang, jalan Samirono Santikara, jalan Srikandi, jalan SWK (ringroad utara), Condongcatur, sangat padat. Jala-jalan lain pastinya juga begitu. Tapi dibanding kota lain, Yogja lebih hiruk pikuk.
Hidup bebas. Glamor. Seenaknya sendiri. Tidak terkungkung aturan orang tua. Itulah kehidupan mahasiswi Yogyakarta. Mereka rata-rata jauh dari keluarga. Merantau di Yogya untuk menuntut ilmu.
Tapi apa yang kemudian dicari: kebebasan. Setiap orang berhak menentukan nasibnya sendiri. Dalam arti, bebas melakukan apa saja yang mereka mau. Yang pacaran, sah-sah saja melakukan hubungan terlarang. Yang belum punya pacar, mudah saja, tinggal cari gadis-gadis kampus (ayam kampus). Begitu pula bagi yang sudah menikah, mereka boleh kok berselingkuh. Di Yogyakarta, apa sih yang tidak boleh.
Seperti yang dituturkan Ranita (23), perempuan asli Magelang. Sejak lulus sekolah menengah atas, Ranita langsung merantau di Yogyakarta. Kehidupan di kota gudeg itu ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Bahwa Yogyakarta sangat identik dengan kota pelajar, itu iya. Tapi lama menetap di kota tersebut, Ranita baru tahu kalau Yogya juga identik dengan pergaulan bebas. Seks bebas, demikian istilahnya.
Kata Ranita, rata-rata mahasiswi di Yogya sudah tidak perawan. “Saya punya banyak teman cewek. Hampir semua dari mereka sudah tidak perawan lagi,” aku mahasiswi salah satu universitas swasta di kota tersebut.
Lalu bagaimana dengan Ranita, apakah dia masih perawan? Kepada LIcom Ranita mengaku tidak perawan lagi. Bukan hanya itu, kepada pacar-pacarnya yang baru Ranita pun demikian.
“Setiap punya pacar aku selalu bilang ke mereka bahwa aku sudah tidak perawan lagi. Ada sih yang menerima, ada juga yang kecewa,” kata perempuan yang sudah 12 kali berpacaran alias bergonta-ganti pasangan.
Ranita bilang, bahwa untuk urusan asmara, Yogya adalah nomor satu. Di sini semua orang bebas menentukan pilihannya. Mau berkencan dengan siapapun tidak ada yang melarang. Bahkan kalau mau tahu, ada beberapa wanita yang menjalin asmara dengan dua sampai tiga laki-laki dan bahkan sebaliknya.
“Aku punya teman. Dia punya tiga teman laki-laki. Apa itu tidak gila namanya,” kata Ranita yang tidak mau mengikuti jejak temannya.
Meski demikian, Ranita tidak malu menyebut dirinya tidak perawan. Malahan kata dia, jika mahasiswi di Yogya perawan, eh malah ditertawakan. Kalau tidak perawan, malah disanjung-sanjung dan dihargai.
“Beda dengan kota-kota lain seperti Surabaya. Di sana perempuannya sangat menjaga betul keperawanan. Mereka yang masih perawan justru sangat dihargai, di sini malah lain,” jelas Ranita yang pernah mempunyai pacar orang Surabaya.
Ranita sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan itu. Mungkin sudah budayanya begitu. Masalah keperawanan di Yogyakarta sudah tidak menjadi hal yang (patut) dipertahankan. Sebaliknya, setiap kali dia berbicara dengan teman-temannya, semua orang selalu membicarakan soal seks, soal hubungan dengan pacar-pacarnya atau mantan-mantannya. Bahwa ‘saya sudah tidur dengan si A atau si B’, merupakan suatu kebanggan.
“Itulah Yogya. Kalau mau tahu, silahkan ikut aku. Akan kutunjukkan bagaimana kehidupan kota Yogya yang sebenarnya,” kata Ranita sembari mengajak LIcom berkeliling di kos-kosan cewek
sumber http://headline.lensaindonesia.com/2...k-perawan.html
Yogya tidak perawan. Ternyata sampai sekarang, tahun 2011, penelitian tersebut sepertinya tak bergeming, bahkan bisa bertambah menjadi 99 persen. Rata-rata perempuan lajang tersebut kehilangan keperawanannya saat kuliah. Tidak percaya, berikut penelusuran LIcom selama di kota pelajar.
———————————————
Malam maupun siang, suasana di kota Yogya sangat rame. Para kawula muda berkumpul bersama. Laki-laki dan perempuan tumplek blek jadi satu. Mereka ngobrol ngalor ngidul. Entah apa yang dibicarakan. Sepertinya ramai sekali.
Hari ini, jalan Kaliurang, jalan Samirono Santikara, jalan Srikandi, jalan SWK (ringroad utara), Condongcatur, sangat padat. Jala-jalan lain pastinya juga begitu. Tapi dibanding kota lain, Yogja lebih hiruk pikuk.
Hidup bebas. Glamor. Seenaknya sendiri. Tidak terkungkung aturan orang tua. Itulah kehidupan mahasiswi Yogyakarta. Mereka rata-rata jauh dari keluarga. Merantau di Yogya untuk menuntut ilmu.
Tapi apa yang kemudian dicari: kebebasan. Setiap orang berhak menentukan nasibnya sendiri. Dalam arti, bebas melakukan apa saja yang mereka mau. Yang pacaran, sah-sah saja melakukan hubungan terlarang. Yang belum punya pacar, mudah saja, tinggal cari gadis-gadis kampus (ayam kampus). Begitu pula bagi yang sudah menikah, mereka boleh kok berselingkuh. Di Yogyakarta, apa sih yang tidak boleh.
Seperti yang dituturkan Ranita (23), perempuan asli Magelang. Sejak lulus sekolah menengah atas, Ranita langsung merantau di Yogyakarta. Kehidupan di kota gudeg itu ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Bahwa Yogyakarta sangat identik dengan kota pelajar, itu iya. Tapi lama menetap di kota tersebut, Ranita baru tahu kalau Yogya juga identik dengan pergaulan bebas. Seks bebas, demikian istilahnya.
Kata Ranita, rata-rata mahasiswi di Yogya sudah tidak perawan. “Saya punya banyak teman cewek. Hampir semua dari mereka sudah tidak perawan lagi,” aku mahasiswi salah satu universitas swasta di kota tersebut.
Lalu bagaimana dengan Ranita, apakah dia masih perawan? Kepada LIcom Ranita mengaku tidak perawan lagi. Bukan hanya itu, kepada pacar-pacarnya yang baru Ranita pun demikian.
“Setiap punya pacar aku selalu bilang ke mereka bahwa aku sudah tidak perawan lagi. Ada sih yang menerima, ada juga yang kecewa,” kata perempuan yang sudah 12 kali berpacaran alias bergonta-ganti pasangan.
Ranita bilang, bahwa untuk urusan asmara, Yogya adalah nomor satu. Di sini semua orang bebas menentukan pilihannya. Mau berkencan dengan siapapun tidak ada yang melarang. Bahkan kalau mau tahu, ada beberapa wanita yang menjalin asmara dengan dua sampai tiga laki-laki dan bahkan sebaliknya.
“Aku punya teman. Dia punya tiga teman laki-laki. Apa itu tidak gila namanya,” kata Ranita yang tidak mau mengikuti jejak temannya.
Meski demikian, Ranita tidak malu menyebut dirinya tidak perawan. Malahan kata dia, jika mahasiswi di Yogya perawan, eh malah ditertawakan. Kalau tidak perawan, malah disanjung-sanjung dan dihargai.
“Beda dengan kota-kota lain seperti Surabaya. Di sana perempuannya sangat menjaga betul keperawanan. Mereka yang masih perawan justru sangat dihargai, di sini malah lain,” jelas Ranita yang pernah mempunyai pacar orang Surabaya.
Ranita sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan itu. Mungkin sudah budayanya begitu. Masalah keperawanan di Yogyakarta sudah tidak menjadi hal yang (patut) dipertahankan. Sebaliknya, setiap kali dia berbicara dengan teman-temannya, semua orang selalu membicarakan soal seks, soal hubungan dengan pacar-pacarnya atau mantan-mantannya. Bahwa ‘saya sudah tidur dengan si A atau si B’, merupakan suatu kebanggan.
“Itulah Yogya. Kalau mau tahu, silahkan ikut aku. Akan kutunjukkan bagaimana kehidupan kota Yogya yang sebenarnya,” kata Ranita sembari mengajak LIcom berkeliling di kos-kosan cewek
sumber http://headline.lensaindonesia.com/2...k-perawan.html
0 komentar:
Posting Komentar